Jumat, 28 Mei 2010

TINJAUAN TEORI

APPENDISITIS

A. DEFINISI
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering (Mansjoer, 2000). Apendiks berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena pengosongan tidak efektif, dan lumennya kecil, apendiks cenderung menjadi tersumbat dan terutama rentan terhadap infeksi (apendisitis), (Brunner and Suddart, 2001).

B. ETIOLOGI
Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus di samping hiperplasi jaringan limfoid, fekalit, tumor apendiks, dan cacing ascaris dapat juga menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. Histolytica.
Penelitian epidemiologi menunjukkkan peran makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semua ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut (Sjamsuhidayat, R & Jong Win De, 1997).

C. PATOFISIOLOGI
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehungga menyebabkan peningkatan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus berlanjut. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritonium setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis ganggrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu masa lokal yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2000).

D. MANIFESTASI KLINIS
- Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah, dan hilangnya nafsu makan.
- Nyeri pindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan peritoneum lokal di titik McBurney (nyeri tekan, nyeri lepas, defans muskuler)
- Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung yaitu:
• Nyeri kanan bawah pada tekanan kiri (tanda Rovsing)
• Nyeri kanan bawah bila tekanan sebelah kiri dilepaskan (tanda Blumberg)
• Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti napas dalam, berjalan, batuk, mengedan.
- Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5o C. Bila suhu lebih tinggi mungkin sudah terjadi perforasi (Sjamsuhidayat, R & Jong Win De, 1997).
- Bila apendiks berada dibelakang sekum, nyeri dan nyeri tekan dapat terasa di daerah lumbar.
- Nyeri pada defekasi menunjukkan ujung apendiks berada di dekat rectum
- Nyeri pada saat berkemih menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan kandung kemih atau ureter.
Pada pasien lansia, tanda dan gejala apendisitis dapat sangat bervariasi. Tanda-tanda tersebut dapat sangat meragukan, menunjukkan obstruksi usus atau proses penyakit lainnya. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai ia mengalami ruptur apendiks. Insiden perforasi pada apendiks lebih tinggi pada lansia karena banyak dari pasien-pasien ini mencari bantuan perawatan kesehatan tidak secepat pasien-pasien yang lebih muda (Brunner and Suddart, 2001).

E. KOMPLIKASI
- Komplikasi utama adalah perforasi apendiks yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses. Tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi, ileus, demam, malaise dan leukositosis semakin jelas. Insiden lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi setelah 24 jam setelah awitan nyeri.
- Tromboplebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi tapi merupakan komplikasi yang letal. Tandanya demam sepsis, menggigil, hepatomegali, dan ikterus setelah terjadi perforasi apendiks.
- Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa abses subfrenicus dan fokal sepsis intraabdominal lain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat perlengketan (Mansjoer, 2000).
- Dapat menjadi apendicitis kronis.
- Komplikasi potensial setelah apendiktomi
 Peritonitis
Intervensi keperawatan:
- Observasi terhadap nyeri tekan abdomen, demam, muntah, kekakuan abdomen, dan takikardi.
- Lakukan penghisapan nasogastriks konstan
- Perbaiki dehidrasi sesuai program
- Berikan preparat antibiotik sesuai program
 Abses pelvis atau lumbal
Intervensi keperawatan:
- Evaluasi adanya anoreksia, menggigil, demam, dan diaforesis
- Observasi adanya diare, yang dapat menunjukkan abses pelvis
- Siapkan pasien untuk pemeriksaan rektal
- Siapkan pasien untuk prosedur drainase operatif
 Abses subfrenik (abses di bawah diafragma)
Intervensi keperawatan:
- Kaji pasien terhadap adanya menggigil, demam, diaforesis
- Siapkan untuk pemeriksaan sinar x
- Siapkan drainase bedah terhadap abses
 Ileus
Intervensi keperawatan:
- Kaji bising usus
- Lakukan intubasi dan penghisapan nasogastrik
- Ganti cairan dan elektrolit dengan rute intervena sesuai program
- Siapkan untuk pembedahan, bila diagnosis ileus mekanis ditegakkan.
Sumber : (Brunnert & Suddart, 2001)

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Terjadi lekositosis ringan (10.000-20.000) dengan peningkatan jumlah netrofil. Pemeriksaan urin juga perlu dilakukan untuk membedakannya dengan kelainan pada ginjal dan saluran kemih. Pada kasus akut tidak diperbolehkan melakukan barium enema, sedangkan pada apendisitis kronis tindakan ini dibenarkan. Pemeriksaan USG bila telah terjadi infiltrat apendikularis(Mansjoer, 2000).
 Hb, hct normal. Differential telling bergeser ke kiri, LED meningkat pada appendicitis infiltrate.
 Rontgen
Appendicogram. Hasil positif bila berupa: non filling, partial filling, mouse tail, cut off. Roentgen abdomen tidak menolong kecuali telah terjadi peritonitis (Sari,D.K, dkk, 2005).
G. PENALAKSANAAN
1. Medis
a. Sebelum Operasi
 Observasi
Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala apendisitis seringkali masih belum jelas. Di sini observasi keta perlu dilakukan. Pasien diminta melakukan tirah baring dan dipuasakan. Laksatif tidak boleh diberikan bila dicurigai adanya apendisitis ataupun bentuk peritonotis lainnya. Pemeriksaan abdomen dan rektal serta pemeriksan darah (lekosit dan hitung jenis) diulang secara periodik. Foto abdomen dan thoraks dilakukan untuk mencari penyulit lain.
 Intubasi bila perlu
 Antibiotik
b. Operasi apendiktomi
c. Pasca operasi
 Observasi tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan di dalam, syok, hipertermi, atau gangguan pernapasan. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar untuk mencegah aspirasi cairan lambung. Baringkan pasien pada posisi fowler. Pasien dikatakan baik jika dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Selama itu pasien dipuasakan. Bila tindakan operasi lebih besar, puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal.
 Kemudian berikan minum mulai 15ml/jam selama 4-5 jam lalu naikkan menjadi 30ml/jam. Keesokharinya diberikan makanan saring, dan hari berikutnya diberikan makanan lunak.
 Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2 x 30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar. Hari ketujuh jahitan dapat diangkat dan pasien boleh pulang.
d. Penatalaksanaan gawat darurat non-operasi
Bila tidak ada fasilitas bedah, berikan penatalaksanan seperti dalam peritonitis akut. Dengan demikian, gejala apendisitis akut dapat mereda, dan kemungkinan terjadinya komplikasi akan berkurang (Mansjoer, 2000).
2. Keperawatan
a) Pra operatif
Perawat menyiapkan pasien untuk pembedahan. Infus intravena digunakan untuk meningkatkan fungsi ginjal adekuat dan menggantikan cairan yang telah hilang. Aspirin dapat digunakan untuk mengurangi peningkatan suhu. Terapi antibiotik dapat diberikan untuk mencegah infeksi. Apabila terdapat bukti atau kemingkinan terjadi ileus paralitik, selang nasogastrik dapat dipasang. Enema tidak diberikan, karena dapat menimbulkan perforasi.
b) Pasca operatif
 Pasien ditempatkan pada posisi semi-Fowler. Posisi ini untuk mengurangi tegangan pada insisi dan organ abdomen, yang membantu mengurangi nyeri. Opioid, biasanya sulfat morfin, diberikan untuk menghilangkan nyeri. Cairan per oral diberikan bila mereka dapat mentoleransi. Pasien yang mengalami dehidrasi diberikan cairan secara IV.
 Apabila apendiktomi tidak mengalami komplikasi , pasien dapat dipulangkan pada hari itu juga bila suhu dalam batas normal dan area operatif terasa nyaman. Penyuluhan saat pulang sangat penting. Pasien diinstruksikan untuk menemui ahli bedah yang akan mengangkat jahitan antara hari kelima dan ketujuh. Pasien dan keluarga dapat diajarkan untuk merawat luka dan penggantian balutan dan irigasi sesuai program.
 Apabila terdapat kemungkinan peritonitis, drain dibiarkan di tempat insisi. Pasien yang berisiko terhadap komplikasi dipertahankan di RS selama beberapa hari dan dipantau dengan ketat terhadap tanda-tanda obstruksi usus atau hemoragi sekunder. Abses sekunder dapat terbentuk di pelvis, dibawah diafragma, atau di hati yang menyebabkan peningkatan suhu dan frekuensi nadi, serta peningkatan pada jumlah leukosit (Brunnert & Suddart, 2001).

H. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
1. Nyeri b/d agen injuri fisik (luka post apendiktomi)
2. Defisit perawatan diri (mandi, makan, berpakaian, toileting, berhias, mobilisasi) b/d kelemahan fisik, nyeri post apendiktomi)
3. Resiko infeksi b/d prosedur invasif, luka post apendiktomi
4. Resiko kekurangan volume cairan b/d status puasa pre dan post operasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar